Analisa Kasus Babeh Baekuni Sebagai Bentuk Sex Related Disorder; Pedofilia dan
Nekrofilia
(Ditulis oleh : Luthfia)
Pendahuluan
Kasus
Babeh Baekuni merupakan salah satu dari sekian banyak kasus yang dinyatakan
sebagai bentuk sex related disorder. Dengan
memiliki latar belakang sebagai seseorang yang trauma, Babeh berhasil melakukan
pembunuhan anak yang berusia dibawah umur dan menyodominya. Sepuluh anak tewas
karena tindakannya tersebut. Ia mengaku puas menyodomi mayat yang telah
dibunuhnya serta melakukan mutilasi atas mayat tersebut demi kepuasan pula,
karena saat melakukan mutilasi atas anak-anak jalanan tadi, Babe mengaku
mempunyai kepuasan tersendiri.
Sex related disorder
merupakan salah satu bagian dari abnormalitas seksual merupakan salah satu
kajian dalam ilmu psikologi. Psikologi abnormal adalah studi tentang gangguan
mental (juga disebut penyakit mental, gangguan psikologis atau psikopatologi) -
apa gejalanya, mengapa dapat terjadi (etiologi), bagaimana hal tersebut
dipertahankan dalam diri seorang individu,dan apa efek yang mereka hadapi di
kehidupan masyarakat.[1] Dengan kata lain,
abnormalitas seksual juga dilihat sebagai bentuk dari mental disorder yang memiliki dua model analisa, dimana model
pertama berbasis pada medical model
dan yang kedua berbasis pada non-medical
model yang melihat mental disorder
sebagai bentuk tindakan anti-sosial.
Sex related disorders
yang dilakukan Babeh ini memiliki dua bentuk, yaitu pedofilia dan nekrofilia.
Dengan sasarannya kepada anak dibawah umur, Babeh dinyatakan sebagai pedofilia
dan beberapa antaranya di bunuh terlebih dahulu lalu selanjutnya di sodomi.
Dengan menyodomi mayat korban-korbannya, maka Babeh memiliki penyimpangan
perilaku seksual yang kedua, yaitu nekrofilia. Nekrofilia adalah
suatu kelainan seks dimana seseorang lebih memilih mayat sebagai partner
seksnya. Dengan kata lain, nekrofilia ialah fenomena melakukan hubunan seks dan
menikmati orgasme dengan mayat.[2] Dengan hal
tersebut, maka paper ini membahas tentang bagaimana abnormalitas seksual
memandang tindakan sex related disorders
yang dilakukan oleh Babeh Baekuni dalam bentuk pedofilia dan nekrofilia.
Penulis juga akan menggunakan model analisis yang berbasis pada non-medical model.
Permasalahan
Babeh
Baekuni merupakan seorang yang berusia 48 tahun. Dengan usia yang terbilang
hampir tua itu, ia melakukan tindakan pembunuhan dan sodomi terhadap anak
dibawah umur. Babeh melakukannya dalam keadaan sadar dan ia mengaku memiliki
kepuasaan sendiri dalam melakukan tindakan jahatnya. Anak jalanan yang menjadi
korban pun beberapa diantaranya menjadi anak asuhnya.[3]
Dengan
anak dibawah umur sebagai sasaran tindakannya dan beberapa mayatnya yang
dibunuh terlebih dahulu lalu setelahnya di sodomi, maka hal tersebut menjadi
dua permasalahan utama yang menandakan Babeh sebagai pelaku sex related disorder yang merupakan
salah satu tindakan abnormalitas seksual. Hubungan seksual yang dilakukan oleh
Babeh terhadap anak dibawah umur dan mayat merupakan hubungan yang abnormal.
Hubungan seksual yang terbina tidak termasuk kedalam hubungan seksual yang
normal yang tidak menimbulkan efek-efek yang merugikan baik bagi sendiri maupun
bagi partnernya dan tidak bersifat
paksaan.[4]
Kronologis
Babeh Baekuni sebagai pelaku pembunuhan
berantai serta sodomi terhadap anak di bawah umur mengaku puas menyodomi mayat
yang telah dibunuhnya serta melakukan mutilasi terhadap mayat tersebut demi
kepuasan pula, karena saat melakukan mutilasi terhadap anak-anak jalanan
tersebut, Babe mengaku mempunyai kepuasan tersendiri. Pengakuan babeh tersebut,
terungkap ketika ia melakukan rekontruksi proses pembunuhan dengan cara
mutilasi serta sodomi atas korban dua anak jalanan di bibir Sungai Cisanggarung
yang melintas di daerah Ciwaru Kab. Kuningan, Selasa (19/1).[5]
Babeh ditangkap lantaran membunuh dan
memutilasi Ardiansyah (8 tahun) itu, mengaku selama dua tahun terakhir telah
membunuh tujuh bocah dengan cara memutilasinya. Pengakuan sadis ini disampaikan
oleh psikolog dari Universitas Indonesia, Sarlito Wirawan Sarwono, sebagai
saksi ahli setelah usai memeriksa kejiwaan Babe di Polda Metro Jaya, Kamis
(14/1).[6]
Sebanyak tiga korban yang dibunuhnya dilakukan dengan dimutilasi, sedangkan
empat korban lainnya hanya dibunuh tanpa dimutilasi. Seluruh korban merupakan
anak-anak yang berusia di bawah 12 tahun. Dalam pengakuan Babe, ia terpaksa
membunuh karena bocah-bocah itu menolak saat hendak disodomi.
Modus operandi yang digunakan untuk
membunuh korban-korbannya seperti dengan langsung menjerat korban dengan tali
rafia hingga tidak berdaya seperti pingsan atau mati, lalu disodomi karena
menolak diajak sodomi sebelumnya. Dari pernyataan tersebut, pengakuan Babeh yang
telah mengetahui korbannya telah menjadi mayat tetapi ia tetap menyodominya,
menunjukan perilakunya yang bukan hanya paedofil, tapi juga nekrofil yaitu
senang berhubungan seks dengan mayat.
Saksi ahli juga menegaskan bahwa kondisi
kejiwaan Babeh cukup normal sehingga dapat mengikuti proses hukum hingga ke
persidangan. Ia tidak memiliki gangguan kejiwaan karena semuanya dilakukannya
dengan sadar termasuk pembunuhan-pembunuhan itu.[7]
Selain itu, menurut saksi ahli juga, Babeh tergolong memiliki homoseks bawaan.
Dari latar belakang kehidupannya diketahui bahwa Babe merupakan anak petani
asal Magelang yang sejak kecil selalu dimaki-maki bodoh karena beberapa kali
tidak naik kelas. Akibatnya Babe hanya bersekolah hingga kelas 3 SD. Di usia 12
tahun, Babe merantau sendirian ke Jakarta dan menjadi gelandangan di kawasan
Lapangan Banteng.
Babeh Memilih
Korbannya
Babeh pilih-pilih anak kecil yang akan
dijadikan korban pelampiasan hasrat seksualnya. Babe menyukai anak kecil yang
cakep dan bersih. “Babe pilih-pilih, tidak semuanya dipakai. Yang cakep-cakep
dan bersih. Dia punya kelas,” kata kuasa hukum Babe, Haposan Hutagalung dalam
jumpa pers di Hotel Ambhara, Blok M, kemarin. Babe suka menampung banyak anak
di rumah kontrakannya, di Gang H Dalim RT 06/02, Pulogadung, Jakarta Timur. Hal
itu dilakukan sejak Babe beranjak dewasa. Saat polisi menggerebek kontrakan
Babe, 3 anak berada di dalamnya. Salah satunya diketahui sebagai anak hilang.
Menurut dia, Babe tidak menyodomi anak-anak jalanan yang sudah lama menetap di
rumahnya. “Kalau yang disodomi, anak-anak baru yang dibawa sama teman-temannya
terus dirawat, biar balik lagi,” ujar Haposan. Babe selalu merawat anak jalanan
yang menetap di kontrakannya. Pria asal Magelang ini kerap memandikan anak
jalanan dan mendandaninya. “Bahkan, anak-anak di sana disarankan untuk
menabung. Jadi orang tuanya percaya,” kata Haposan. Bagaimana proses
membunuhnya? “Kalau lagi naik libido dia sebelum dieksekusi dimandiin dulu,
disisirin. Kalau sudah timbul keinginan saat itu, kalau ditolak langsung
dijerat lehernya,” papar Haposan. Menurut dia, Babe memutilasi korban untuk
menghilangkan jejak. “Dia mau menghilangkan mayatnya. Karena badan anak-anak
kecil, supaya muat dimasukkan ke dalam kardus untuk mempermudah menghilangkan jejak,”
kata dia.
Latar Belakang Kehidupan Babeh
Baekuni
Sebagai seorang yang melakukan tindakan
kejahatan teradap anak dibawah umur, Babeh pada masa kecilnya juga mengalami
kekerasan seksual dimasa lalunya dahulu. Seperti yang dikutip berdasarkan
pemberitaan Media Indonesia oleh pengacara Babeh,
“Di usianya ke 12
tahun itu, dia merantau dari kampungnya di Magelang. Namun saat sampai di
Jakarta, dia disodomi oleh pria dewasa.”[9]
Saat itu, Babeh juga menggelandang tinggal di Jakarta sama
seperti anak-anak yang tinggal di rumah Babeh. Babeh oleh anak-anak yang
tinggal dirumahnya disebutkan selain sering kasar juga sering memberi makan dan
uang jajan. Pengacara Babeh juga menyebutkan bahwa saat Babeh memutilasi tubuh
korbannya, ia sepenuhnya dalam keadaan sadar.
“Dia dalam keadaan sadar saat itu (saat memutilasi), ada
sensasi tersendiri saat memutilasi, itu menurut keterangan dia,” ungkap Rangga.[10]
Saat melakukan mutilasi tersebut Babe merasa ada dorongan kuat dari dalam
dirinya untuk memutilasi, tetapi ketika ia selesai melakukan itu ada perasaan
menyesal.
Pembahasan
Bagian
pembahasan dalam paper ini secara umum akan terbagi menjadi dua bagian; bagian
pertama akan berisi penjabaran teori maupun konsep secara singkat. Teori maupun
konsep yang akan digunakan pertama ialah Teori Psikoanalisis oleh Sigmund Freud
yang akan berkaitan dengan konsep abnormalitas seksual yang dialami oleh Babeh,
yang dalam paper ini adalah pedofilia dan nekrofilia.
Bagian kedua dalam pembahasan ialah
menganalisa kasus pembunuhan dan sodomi yang dilakukan Babeh Baekuni ini dengan
menggunakan teori maupun konsep yang telah dijabarkan sebelumnya. Dengan
menggunakan kacamata teori dan konsep yang telah dipilih, diharapkan dapat
menjelaskan fenomena pembunuhan dan sodomi oleh Babeh ini secara jelas dari
sudut pandang Psikologi Kriminal.
Teori Dan Konsep Yang
Digunakan
Teori
yang digunakan ialah teori psikoanalisis yang di cetuskan oleh Sigmund Freud. Freud
menganggap manusia memiliki sifat antisosial dalam setiap dirinya. Individu
secara biologis diberkahi dengan sifat egosentris untuk mencari kesenangan dan
impuls destruktif yang bertentangan dengan tuntutan kelompok sosial.[11] Ia adalah id yang merupakan komponen utama dalam
kepribadian. Id adalah satu-satunya
komponen kepribadian yang hadir sejak lahir, aspek kepribadiannya sadar dan termasuk
dari perilaku naluriah dan primitif. Id didorong oleh prinsip kesenangan yang
berusaha untuk memenuhi semua keinginan dan kebutuhan, apabila tidak terpenuhi
maka akan timbul kecemasan dan ketegangan. Menurut Frued, id mencoba untuk menyelesaikan ketegangan yang diciptakan oleh
prinsip kesenangan dengan proses yang melibatkan pembentukan citra mental dari
objek yang diinginkan sebagai cara untuk memuaskan kebutuhan.[12]
Untuk
menjamin kelangsungan hidup sosial, impuls ini harus dikendalikan atau diarahkan
oleh individu itu sendiri, dan ini dicapai dengan dua cara; pertama, aktivitas
proses primer dari id ditentang oleh
munculnya fungsi ego yang dipandu oleh prinsip realitas; kedua, dalam
menyalurkan id, ego dipandu oleh
superego, yang mewakili internalisasi standar kelompok.[13]
Unsur yang kedua,
ego, adalah komponen kepribadian yang
bertanggung jawab untuk menangani hal yang berhubungan dengan realitas. Menurut
Freud, ego berkembang dari id dan
memastikan bahwa dorongan dari id
dapat dinyatakan dalam cara yang dapat diterima di dunia nyata.[14]
Fungsi ego berada pada pikiran sadar,
prasadar, dan tidak sadar. Ego
beroperasi menurut proses sekunder, yaitu untuk mencegah terjadinya ketegangan
sampai ditemukannya suatu objek yang cocok sebagai pemuas kebutuhan. Dengan
kata lain, fungsi ego adalah
menyaring dorongan-dorongan yang ingin dipuaskan oleh id berdasarkan kenyataan. Unsur
kepribadian ketiga, superego, adalah
suatu gambaran kesadaran akan nilai-nilai dan moral masyarakat yang ditanam
oleh adat-istiadat, agama, orangtua, dan lingkungan. Pada dasarnya superego adalah hati nurani, jadi superego memberikan pedoman untuk
membuat penilaian, baik yang benar atau yang salah.[15]
Ia juga hadir dalam alam sadar, prasadar dam tidak sadar. Id, ego dan superego saling mempengaruhi satu sama
lain, ego bersama dengan superego mengatur dan mengarahkan
pemenuhan id berdasarkan norma dan aturan-aturan
yang berlaku dalam masyarakat, agama dan perilaku yang baik atau buruk
(nilai-nilai) dalam masyarakat.
Abnormalitas
seksual, merupakan konsep yang akan penulis pakai dalam paper ini guna menganalisis
fenomena Babeh ini. Seks merupakan salah satu hal yang mendorong manusia untuk
bertingkah laku. Berkaitan dengan teori psikoanalisa Freud, disebutnya bahwa
seks sebagai libido sexualis (libido
= gasang, dukana, dorongan hidup, nafsu erotis).[16]
Disamping seks dianggap sebagai hubungan sosial biasa, seks dianggap memliki
hubungan yang erotis didalamnya. Dengan relasi seksual ini kedua belah pihak
menghayati bentuk kenikmatan dan puncak kepuasan seksual atau orgasme.[17]
Dalam hubungan heteroseksual (antara seorang pria dan wanita), relasi yang
dibangun harus didasarkan pada hubungan yang normal. Dengan kata lain,
laki-laki dan wanita dewasa adalah dimana nantinya mereka mampu untuk
mengadakan relasi seksual yang sehat, bertanggung jawab dan sehat sifatnya.
Menurut Kartini Kartono (1985), hubungan seksual yang normal mengandung
pengertian : (1) Hubungan tersebut tidak menimbulkan efek-efek yang merugikam,
baik bagi sendiri maupun bagi partnernya; (2) Tidak menimbulkan konflik-konflik
phsikis, dan tidak bersifat paksaan atau perkosaan.[18]
Dalam
memahami mengapa seseorang bertindak dan merasa dalam cara-cara yang dilakukan
dianggap sebagai tindakan yang abnormal, ilmuwan sosial melihat tiga dimensi
penyebabnya yaitu biologis, psikologis, dan sosial budaya.[19] Dengan kata lain,
perilaku abnormal muncul dari satu set kompleks faktor penentu dalam tubuh,
pikiran, dan konteks sosial individu. Pada konteks warisan genetik biologis,
faktor yang mempengaruhi adalah kondisi medis, kerusakan otak dan paparan
terhadap rangsangan lingkungan; Sedangkan pada konteks pengalaman hidup trauma
psikologis, faktor yang menyebabkannya ialah asosiasi belajar, persepsi
terdistorsi dan cara yang salah berpikir; Dan terakhir, pada gangguan
sosiokultural dalam hubungan intim, faktor yang melatarbelakangi terjadinya ialah
masalah dalam hubungan, kerusuhan politik atau sosial dan tindakan diskriminasi
terhadap kelompok sosial/seseorang.[20] Selain itu, kebanyakan
pengalaman menempatkan peristiwa antarpribadi dengan interaksi dengan orang
lain, juga orang-orang juga memiliki pengalaman intrapsikis dimana yang berlangsung
dalam pikiran dan perasaan mereka.
Selain
itu, abnormalitas sendiri dalam ilmu psikologi memiliki beberapa kriteria.[21] Kriteria pertama adalah distress; adalah nyeri psikologis,
seperti depresi sedalam atau kecemasan intens, mungkin begitu besar bahwa
beberapa orang tidak bisa melalui tugas-tugas kehidupan sehari-hari. Ia juga
diikuti dengan chaos traumatic yang
mendalam. Kriteria kedua adalah impairment;
merupakan tekanan intens mengarah ke penurunan kemampuan seseorang. Penurunan
melibatkan penurunan kemampuan seseorang untuk berfungsi pada optimal atau
bahkan tingkat rata-rata. Kriteria ketiga adalah Risk to Self or Other People;
yaitu dimana ketika orang bertindak menyebabkan risiko untuk diri mereka
sendiri atau orang lain. Dalam konteks ini, risiko mengacu pada bahaya atau
ancaman terhadap kesejahteraan seseorang. Orang tersebut dianggap tidak dapat
diterima dan dianggap abnormal. Kriteria terakhir, Socially and Culturally Unacceptable Behavior dimana tindakan
(kelainan) yang bersikap di luar norma dari konteks sosial dan budaya dimana
itu terjadi.
Analisa
Kasus
Babeh Baekuni merupakan kasus yang menjadi fenomena yang menandakan bahwa
pelaku kejahatan seksual atau kekerasan seksual dapat dilakukan begitu saja
dengan anak dibawah umur sebagai korbannya. Anak yang menjadi korban ialah anak
jalanan, dimana sebagian besar dari mereka semua mengenal sosok Babeh ini, dan
hanya satu anak asuhnya saja yang menjadi korban. Jika menggunakan teori
psikoanalisa, ide dan konsep yang dicetuskan oleh Freud ini merupakan ide-ide
atau konsep yang dapat diterapkan pada kehidupan kita sehari-hari. Freud
membagi kepribadian manusia menjadi tiga elemen, dan elemen ini akan
mempengaruhi terhadap perilaku seseorang.[22]
Dengan
memerhatikan unsur/elemen kepribadian id,
ego, dan superego yang terdapat dalam diri Babeh, maka penjelasan mengapa
dapat terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh Babeh ialah karena berdasarkan
penjelasan ketiga elemen kepribadian yang telah dijelaskan oleh Freud, konsepsi
penyimpangan adalah ketika id yang
tidak terkontrol muncul secara bersamaan dengan superego yang tidak berjalan. Sementara itu, dalam waktu yang sama,
ego yang seharusnya dominan dalam
memastikan cara kerja nyata manusia, tidak berhasil memberikan perimbangan yang
tepat diantara keduanya. Akibatnya, penyimpangan pun terjadi.
Dalam
hal ini, id yang
didorong oleh prinsip kesenangan dimana ia berusaha untuk mencari kepuasan
segera dari semua keinginan, keinginan, dan kebutuhan. Jika kebutuhan ini tidak
puas langsung, hasilnya adalah kecemasan dan ketegangan. Jika kita melihat
kepribadian Babeh yang telah diberitakan oleh pemberitaan media, Babeh mengakui
memiliki keinginan untuk menyodomi para korbannya dan memutilasinya untuk
mencapai rasa kepuasan. Dorongan dari dalam dirinya tersebut dinamakan id.
“Tersangka
kasus pembunuhan berantai serta sodomi atas anak di bawah umur, Baekuni alias
Babe (61), mengaku puas menyodomi mayat yang telah dibunuhnya serta melakukan
mutilasi atas mayat tersebut demi kepuasan pula, karena saat melakukan mutilasi
atas anak-anak jalanan tadi, Babe mengaku mempunyai kepuasan tersendiri.”[23]
Dorongan
yang sudah muncul sehingga Babeh kembali melakukan pembunuhan dan kekerasan
seksual berulang-ulang, selain menunjukan kuatnya id yang dimilikinya, juga menunjukan bahwa lemahnya superego yang dimilikinya. Superego merupakan pengendali dari ego dan id yang bukan berasal
dari dalam diri tetapi dari penyerapan standar aturan dan pranata dari
pendidikan orang tua. Superego merupakan bagian kepribadian yang berhubungan
dengan etika, standar moral dan aturan.[24] Berdasarkan pernyataan tersebut, Babeh memiliki
kecendrungan dimana superego nya lemah jika kita melihat masa lalunya yang
diberitakan di media. Kemampuan superego dalam mengontrol tindakan/dorongan
yang menggebu-gebu dalam dirinya tidak dapat menahan hal tersebut.
“Babe
lahir di Magelang. Ayahnya seorang petani. Masa kecilnya memang tidak bahagia.
Selalu diolok-olok teman-teman sekolah, lantaran tidak pernah naik kelas.
Karena tidak naik kelas itu, Baekuni "tamat" di kelas 3 SD. Lalu dia
kabur sendirian ke Jakarta, pada usia yang masih sangat belia untuk merantau,
12 tahun. Di ibukota dia menggelandang di Lapangan Banteng, Jakarta
Pusat. Untuk makan-minum sehari-hari dia mencari uang dengan mengamen. Anak
belia terjun ke dunia yang kelam. Baekuni mengalami hampir semua kekejaman
jalanan. Dia juga pernah disodomi. "Waktu itu dia menolak tapi karena
dipaksa tidak bisa melawan," ujar Sarlito, melalui surat elektronik yang
diterima VIVAnews,
Kamis 14 Januari 2010.”[25]
Dengan
kenekatannya seorang diri merantau dan pengalaman menjadi korban, kecendrungan
Babeh menjadi pelaku pembunuhan dan pelaku kekerasan seksual lebih besar
dibanding ia sebelumnya tidak menjadi korban. Traumatik yang dirasa pada masa
kecilnya membawa pengaruh kepada kepribadian dan tindakannya di masa depan. Hal
tersebut juga didorong oleh ego yang
seharusnya dominan dalam memastikan cara kerja nyata manusia, tidak berhasil
memberikan perimbangan yang tepat diantara keduanya (antara id dan superego yang dimiliki oleh Babeh)
Konseptualisasi diri yang dibawakan oleh Freud melalui id, ego,
superego miliknya, memiliki
keterkaitan dengan konsep abnormalitas seksual. Hubungan seksual yang dilakukan
oleh Babeh terhadap korbannya mencerminkan apakah hubungan yang berjalan apakah
hubungan yang normal ataupun abnormal. Menurut Kartini
Kartono (1985), hubungan seksual yang normal mengandung pengertian : (1)
Hubungan tersebut tidak menimbulkan efek-efek yang merugikam, baik bagi sendiri
maupun bagi partnernya; (2) Tidak menimbulkan konflik-konflik phsikis, dan
tidak bersifat paksaan atau perkosaan.[26] Hal tersebut juga
dipertegas oleh Handbook of Psychiatry, bahwa perilaku
seksual yang abnormal adalah perilaku seksual yang merusak diri sendiri dan
orang lain; yang ditujukan untuk kesejahteraan pasangan seks atau diri (yaitu,
‘partner’ seks adalah korban, bukan mitra yang berpartisipasi).[27]
Perilaku
seksual manusia dapat dilihat sebagai puncak dari persatuan antara tubuh dan
jiwa dalam batas-batas hubungan manusia. Ini adalah ekspresi alami saling
memberi dan menerima, berbagi, kenikmatan, demonstrasi cinta, rekreasi dan
kesatuan antara dua orang. Kenikmatan tak terbatas dari seks yang aman dan
bahaya seks yang tidak aman merupakan dua ekstrem dari ekspresi seksual
manusia. Pada kasus Babeh ini, kejahatan dan kekerasan seksual tidak
mencerminkan adanya hal tersebut. Selain itu, obyek yang dijadikan pelampiasan
seksual Babeh adalah anak dibawah umur. Tindakan tersebut dikategorikan sebagai
pedofil dimana Babeh juga setelah mengalami tes psikologi, positif mengidap
pedofil. Pedofilia merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menunjukkan
bahwa orang dewasa menjadikan anak-anak sebagai obyek secara seksual, kondisi
ini tampaknya telah diidentifikasi hampir secara eksklusif pada jenis kelamin
laki-laki.[28]
Babeh di kategorikan sebagai pedofilia homoseksual karena ia tertarik secara
seksual hanya kepada anak laki-laki. Korban yang berjatuhan pun semuanya di
sodomi (melalui anal) dan anak dibawah umur itu semua berjenis kelamin
laki-laki. Beberapa orang yang tertarik secara seksual kepada anak-anak,
cenderung tidak memiliki keinginan untuk tidak dan ingin berubah dan dalam
keadaan seperti itu, daya tarik seksual kepada anak-anak dikatakan
ego-distonik. Namun, apabila hal tersebut bertentangan dengan hati nuraninya,
maka hal tersebut dinamakan ego-sintonik.[29] Pernyataan tersebut cocok
dengan fenomena pembunuhan dan kekerasan seksual oleh Babeh dengan jatuhnya
korban berulang-ulang, hal tersebut membuktikan bahwa Babeh cenderung tidak
menginginkan diri untuk berubah. Hal Seperti salah satu kutipan berita berikut.
“Ditinggal mati sang istri, Babe kemudian kembali lagi ke
ibukota. Menjajal lagi Jakarta yang sulit. Dia memulai hidupnya di kawasan
Terminal Pulogadung. Menjadi penjual rokok dan memelihara anak jalanan. Di
sanalah harsat seksual yang menyimpang kian menjerat Baekuni. Bila hasrat
seksualnya datang, dia tidak perlu jauh-jauh mencarinya. Cukup mengambil satu
dari anak-anak jalanan yang dipeliharanya. Belakangan tidak cuma seks yang
menyimpang, dia juga membunuh 7 dari anak-anak itu. "Jelas dia homoseks
bawaan, bukan jadi-jadian. Dia hanya bisa ereksi pada sesama jenis,"
katanya Sarlito sebagai saksi ahli kasus Babeh.”[30]
Selain mengalami pedofilia, Babeh juga positif mengalami nekrofilia.
Salah satu bentuk abnormalitas seksual ini merupakan bentuk yang unik dan
jarang ditemui. Nekrofilia ialah fenomena melakukan hubungan seks dan menikmati
orgasme dengan mayat.[31] Menurut
Kartono (1985), terdapapat beberapa alasan mengapa praktik nekrofil berjalan,
yaitu seperti pelaku dihadapi rasa inferior yang begitu hebat karena mengalami
trauma serius sehingga ia tidak berani melakukan hubungan (seks) dengan wanita
yang masih hidup. Dendam kronis juga merupakan salah satu alasan mengapa Babeh
melakukan kekerasan seksual dalam bentuk nekrofil kepada korbannya.
Analisis
bagian terakhir adalah tentang kriteria abnormalitas yang terdapat pada diri
Babeh. Dengan keriteria Distress, Impairment, Risk to Self or Other People, Socially
and Culturally Unacceptable Behavior. Penulis mencoba menganalisisnya
dengan menggunakan kolom agar terlihat lebih enak dibaca dan dilihat.
Tabel
Analisis Kriteria Abnormalitas Kasus Babeh
Kriteria
|
Penjelasan
|
Distress
|
·
Pada tahap kognitif : ada
perasaan trauma yang dialami oleh Babeh di masa kecilnya. Ia pernah menjadi
korban sodomi. Bayang-bayang hasrat seksualnya semakin menyimpang dan
menjadi, ketika dirinya mulai memelihara anak-anak jalanan dan merawatnya
·
Pada tahap afeksi : Rasa
cemas menyelimuti Babeh. Perasaan kecewa mengalami disfungsi seksual karena
almarhum istrinya. Merasa marah jika ditolak oleh beberapa korbannya saat
diajak sodomi, dimana mereka adalah anak dibawah umur
·
Pada tahap tindakan :
menyodomi anak-anak jalanan sebagai pelampiasan hasrat seksualnya, lalu
memutilai beberapa korbannya
|
Risk to Self or Other
People
|
·
Pada fisik : Babeh merasa
puas atau terpuaskan hasrat seksualnya ketika telah melakukan sodomi pada
anak-anak
·
Pada psikis : Ada sensasi sedniri
saat melakukan sodomi dan mutilasi. Namun, setelahnya ada rasa menyesal
karena telah memutilasi korbannya, seperti dihantui korban yang.
|
Socially and
Culturally Unacceptable Behavior
|
·
Menyodomi dan memutilasi
merupakan suatu hal yang snagat bertentangan dengan nilai-nilai dan
norma-norma yang dianut di Indonesia, bahkan di dunia. Tindakan pedofilia dan
nekrofilia juga termasuk ke dalam perilaku abnormal.
|
Dari penjabaran tersebut, tindakan yang
dilakukan Babeh termasuk ke dalam tindakan abnormal yang merugikan para korban
dan keluarga korban.
Kesimpulan
Fenomena yang menimpa Babeh
Baekuni merupakan satu dari sekian banyak kasus sex related disorder yang terkadi di Indonesia. Jika melihat dengan
teori psikoanalisa, dorongan id Babeh
tidak disertai dengan superego yang
baik, dan kurang baiknya ego dalam
mengontrol keduanya sehingga menyebabkan Babeh melakukan pembunuhan dan
kekerasan seksual. Hal tersebutlah yang menyebabkan Babeh menjadi individu yang
mengalami abnormalitas seksual yang memiliki ketertarikan dengan anak dibawah
umur (pedofilia) dan ketertarikan untuk melakukan sodomi dengan mayat korbannya
(nekrofilia). Keinginan dalam diri yang tidak dimbangi dengan pengetahuan nilai dan norma serta
aturan yang juga didukung dengan lemahnya kontrol diri menyebabkan hal tersebut
terjadi. Selain itu, setelah melihat beberapa kriteria tentang abnormalitas
dalam ilmu psikologi, tindakan yang dilakukan Babeh termasuk ke
dalam tindakan abnormal yang merugikan para korban dan keluarga korban.
Daftar Pustaka
Buku :
Baron, R., Branscombe, N., Byrne, D. 2008. Social
Psychology. 11th ed Boston, MA : Allyn & Bacon.
Blackburn,
Ronald. (1993). The Psychology of Criminal Conduct: Theory, Researchand
Practice. Chichester: John Wiley, Sons, Ltd.
Davinson,
G. C., Neale, J., Kring, A. M. (2004). Abnormal Psychology 9th Edition. USA:
John Wiley and Sons, Inc.
Ellis, Albert., Mike Abrams,
Lidia D. Abrams, (2009), Personality
Theories: Critical Perspectives , Sage Publication.
Eysenck,
Hans J., Gisli H. Gudjonsson. (1989). The
Causes Cures Of Criminality. New York: Springer Science+Business Media.
Freud, Sigmund. (2002) A
General Introduction to Psychoanalysis. Yogyakarta: Ikon Teralitera.
Handbook of Psychiatry, (2005), Mental Health Information Centre of SA,
Department of Psychiatry, University of Stellenbosch. Chapter by Professor
Willie Pienaar and Dr Sandra Brink.
Hollin, Clive
R.. (1989), Psychology & Crime:
And Introduction to Criminonological Psychology. London: Routledge.
Kartono,
Kartini. (1986). Psikologi Abnormal dan
Patologi. Bandung: Alumni.
McDougall, William. (2001). An Introduction To Social Psychology.
Kitchener: Batoche Books.
Sue,
David., dkk, (2006), Understanding Abnormal Behaviour. California: Cengage.
Jurnal :
Berlin, Fred S., dkk. (1994).,
Pedophilia: Diagnostic Concepts
Treatment, And Ethical Considerations. Baltimore: Johns Hopkins Hospital.
Primoratz,
Igor. (1997). Sexual Perversion.
American Philosophical Quarterly, Vol. 34, No. 2 (Apr., 1997), pp. 245-258.
Jstor: University Of Illinois Press.
Website/Berita :
Lihat
di http://metro.news.viva.co.id/news/read/121259-ini-dia-perjanan-hidup-getir-babe
, diakses pada 15 Juni 2016 pada pukul 03.00 WIB.
Lihat
di http://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2010/01/20/105720/babe-akui-puas-sodomi-mayat-yang-dibunuhnya
, diakses pada 15 Juni 2016 pukul 01.38 WIB
Lihat
di mediaindonesia.com pada tanggal 14 Juni 2016 ,pada pukul 04.11 WIB
Lihat
di http://news.detik.com/berita/1450633/kasus-mutilasi-babe-dituntut-hukuman-mati
, diakses pada 14 Juni 2016 pukul 02.53 WIB.
[1] G. C. Davison, Neale,
J., Kring, A. M. (2004). Abnormal Psychology 9th Edition. USA: John
Wiley and Sons, Inc. Halaman 316.
[2] Kartini Kartono. (1986). Psikologi Abnormal dan Patologi.
Bandung: Alumni. Halaman 181
[3] Lihat di http://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2010/01/20/105720/babe-akui-puas-sodomi-mayat-yang-dibunuhnya , diakses pada 14 Juni 2016
pukul 02.00 WIB.
[4] Op.Cit, Kartini Kartono.
Halaman 165.
[5] Lihat di di http://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2010/01/20/105720/babe-akui-puas-sodomi-mayat-yang-dibunuhnya , diakses pada 14 Juni 2016
pukul 02.32 WIB.
[6] Lihat di Jakartapress.com
diakses pada 16 Juni 2016 pada pukul 02.39 WIB.
[7] Lihat di http://news.detik.com/berita/1450633/kasus-mutilasi-babe-dituntut-hukuman-mati , diakses pada 14 Juni 2016
pukul 02.53 WIB.
[8] Lihat di mediaindonesia.com
pada tanggal 14 Juni 2016 ,pada pukul 04.11 WIB
[9] Lihat di mediaindonessia.com
pada tanggal 14 Juni 2016, pada pukul 04.13 WIB
[10] Lihat di mediaindonesia.com pada
tanggal 14 Juni 2016, pada pukul 04.26 WIB
[11] Ronald Blackburn, (1993). The Psychology
of Criminal Conduct: Theory, Researchand Practice. Chichester: John Wiley,
Sons, Ltd. Halaman 112.
[12] Albert Ellis, Mike Abrams, Lidia D.
Abrams, (2009), Personality Theories:
Critical Perspectives , Sage Publication. Halaman 111.
[13] Op.Cit, Ronald Blackburn, Halaman 113
[14] Op.Cit. Albert Elllis, dkk. Halaman 112
[15] Ibid, Alberl Ellies, dkk. Halaman 113.
[16] Op.Cit. Kartini Kartono. Halaman 164.
[17] Op.Cit. Kartini Kartono. Halaman 164.
[18] Op.Cit. Kartini Kartono. Halaman
164-165.
[19] David Sue, dkk, (2006), Understanding
Abnormal Behaviour. :California Cengage. Halaman 7.
[20] Ibid, David Sue, dkk. Halaman 10.
[21] Ibid, David Sue, dkk. Halaman 5.
[22] Clive R. Hollin, (1989), Psychology & Crime: And
Introduction to Criminonological Psychology. London: Routledge. Halaman
34.
[23] Lihat di http://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2010/01/20/105720/babe-akui-puas-sodomi-mayat-yang-dibunuhnya , diakses pada 15 Juni 2016
pukul 01.38 WIB
[24] Sigmund Freud. (2002) A General
Introduction to Psychoanalysis.
Yogyakarta: Ikon Teralitera. Halaman 357.
[25] Lihat di http://metro.news.viva.co.id/news/read/121259-ini-dia-perjanan-hidup-getir-babe , diakses pada 15 Juni 2016
pada pukuk 01.55 WIB
[26] Op.Cit, Kartini Kartono. Halaman
164-165.
[27] Handbook of Psychiatry, (2005), Mental Health Information Centre of SA,
Department of Psychiatry, University of Stellenbosch. Chapter by Professor
Willie Pienaar and Dr Sandra Brink.
[28] Fred S. Berlin, dkk. (1994).,
Pedophilia: Diagnostic Concepts Treatment, And Ethical Considerations.
Baltimore: Johns Hopkins Hospital. Halaman 2
[29] Ibid, Fred S. Berlin, dkk. Halaman 3
[30] Lihat di http://metro.news.viva.co.id/news/read/121259-ini-dia-perjanan-hidup-getir-babe , diakses pada 15 Juni 2016
pada pukul 03.00 WIB.
[31] Op.Cit, Kartini Kartono. Halaman 181